Belajar Apa dari ‘Blackout’ Kemarin?

Blackout ibarat serangan jantung yang dapat terjadi kapan dan dimana saja. Setelah “operasi jantung” dilakukan, ada dua indikator si pasien dikatakan sehat. Pertama adalah detak jantung yang stabil, dan kedua tekanan darah pada batas normal. Dalam kasus blackout kemarin, detak jantung dapat dianalogikan sebagai frekuensi sistem dan tekanan darah sebagai tegangan sistem. Dua indikator inilah yang terus dipantau secara seksama pada masa pemulihan. Frekuensi harus dijaga dengan mengatur daya aktif  yang didapat dari asupan bahan bakar pada sistem pembangkit yang saling terhubung satu dengan yang lainnya, baik yang  di Muara Karang, Jatiluhur dan seterusnya. Frekuensi pengaturan tegangan dengan memperhatian besarnya produksi dan penyerapan daya reaktif dalam sistem juga harus dijaga.

Walaupun sistem interkoneksi se-Jawa-Bali ini sudah menggunakan peralatan kendali dan proteksi yang otomatis dan canggih, namun masih mengharuskan peran manusia untuk mengoperasikannya dengan cara yang aman dan sesuai prosedur. Bila sistem ini tidak beroperasi sesuai parameter-parameter yang telah ditentukan, dapat mengakibatkan pemadaman bertingkat (cascade outages).

Blackout memiliki dampak yang sangat besar, terhentinya transaksi bisnis, telekomunikasi dan Internet, macetnya moda transportasi umum, terganggunya  pelayanan kesehatan di rumah sakit, produksi manufaktur hingga terancamnya persediaan air bersih.

Tulang punggung/backbone dari sistem interkoneksi ini adalah sistem transmisi 500 kV yang kemarin terganggu, yang terbentang sangat panjang hingga ratusan kilometer demi menopang penyalurkan pasokan listrik dari pembangkit sampai ke beban industri dan perumahan.

Berdasarkan survei yang dilakukan di seluruh dunia dari tahun 2011 sampai 2019, pemicu blackout  adalah sebagai berikut: 1. Faktor cuaca yang tidak normal dan pohon tumbang (30%), 2. Kecelakaan kendaraan – menabrak tiang/menara listrik (12 %), 3. Binatang yang tersengat pada peralatan jaringan listrik (5%), 4. Kerusakan alat dan kesalahan manusia (26%), 5. Kelebihan beban (di bawah 1 %), 6. Pemadaman terencana (6%) dan 7. Faktor yang masih belum diketahui penyebabnya (20%).

Walaupun demikian, ada kesepakatan bersama dari pada pakar kelistrikan dunia bahwa operator sistem tenaga listrik menjadi pusat perhatian dari setiap kejadian blackout, terutama sejak kasus blackout di Amerika Utara tahun 1965, jika operator sistem tenaga listrik mampu mengambil tindakan yang cepat dan tepat, maka blackout dapat dicegah.

Misalkan, faktor  cuaca buruk menduduki prosentasi tertinggi, hal ini dapat diantisipasi dengan penyempurnaan sistem peramalan cuaca sehingga operator sistem tenaga listrik  mendapatkan informasi yang akurat dalam mengambil tindakan. Sedangkan faktor peralatan yang rusak dan kesalahan manusia dapat dicegah dengan pemeriksaan dan jadwal pemeliharaan  rutin yang dilakukan dengan mentaati standar operasi yang ada.

Oleh karena itu sumber daya manusia di perusahaan listrik dituntut untuk terus mengasah kemampuan teknisnya agar dapat mengatasi segala dinamika pada sistem tenaga listrik   yang semakin kompleks, terlebih dengan masuknya teknologi IoT (Intenet of Things) dan energi terbarukan kedalam sistem. Membangun Smart Grid (Jaringan Listrik Cerdas) itu penting, tetapi membangun Smart Engineer jauh lebih penting dan mendesak. Disinilah peran kolaborasi perguruan tinggi dan industri kelistrikan menjadi sangat strategis.

Energi listrik adalah milik rakyat, bukan saja milik negara. Saat ini masyarakat luas dapat memenuhi kebutuhan listriknya sendiri dengan teknologi energi terbarukan dan energy storage seperti baterai yang sudah ada di pasaran dan harganya cenderung turun. Sehingga mereka dapat menentukan pilihan pemenuhan energi listriknya sendiri, apakah ingin tergantung sepenuhnya pada perusahaan listrik dengan menanggung segala konsekuensinya seperti risiko blackout dan kenaikan tarif, atau menjadikan perusahaan listrik sebagai back-up listrik di rumahnya.

Sistem ini dapat beroperasi secara on-grid dan off-grid (terhubung dengan jaringan perusahaan listrik atau tidak), atau opsi ketiga, membangun sistem listrik mandiri  tanpa terhubung dengan jaringan perusahaan listrik sama sekali full off-grid.

Semangat menghasilkan listrik dari rumah atau penulis sebut dengan L-D-R, dapat dijadikan sebagai semboyan gerakan sosial masyarakat kota di Indonesia dan dicanangkan sebagai bagian dari gaya hidup baru. Gerakan ini akan memantik meluasnya pola hidup sehat, peduli lingkungan dan merubah sikap mental dari dependent menjadi independent, dari masyarakat yang pasif menerima energi menjadi masyarakat yang aktif menghasilkan energi.

L-D-R juga akan merangsang tumbuhnya peluang bisnis usaha komponen peralatan kelistrikan dan jasa /services, khususnya teknologi energi terbarukan, seperti panel surya, power converter dan baterai. Program pemerintah sejuta listrik atap baik yang on-grid ataupun off-grid sudah selayaknya digenjot dan bukan dipersulit. Apalagi sampai dinilai mengancam profit perusahaan listrik. L-D-R, mengapa tidak ?