Melihat Fasilitas PLTS Terapung Bifacial di Danau UI

Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung bisa ditempatkan di perairan mana pun. Danau, sungai, bahkan laut. Tim peneliti dari Universitas Indonesia (UI) telah membuktikannya.

M. HILMI SETIAWAN, Depok, Jawa Pos

”MARI kita langsung mencoba naik ke PLTS-nya,” ajak Direktur Tropical Renewable Energy Center (TREC) Fakultas Teknik (FT) UI Eko Adhi Setiawan Maret lalu. Dia mengajak keliling kompleks FTUI menuju Danau Mahoni.

Danau itu khas dengan jembatan teksasnya. Teksas adalah kependekan dari teknik sastra. Nama tersebut diambil karena jembatan itu menghubungkan fakultas teknik dan sastra yang dipisahkan sebuah danau. Dari kejauhan fasilitas PLTS terapung itu sudah terlihat. PLTS tersebut diklaim sebagai yang pertama di Indonesia karena menerapkan teknologi bifacial

Teknologi itu membuat kedua sisi panel surya (solar panel) mampu menyerap sinar matahari. Sisi pertama menyerap sinar matahari langsung. Sedangkan sisi satunya menyerap sinar yang dipantulkan dari air. Dengan sistem tersebut, solar panel-nya tembus sinar matahari. Sinar yang tembus itu dipantulkan air danau dan diserap kembali oleh solar panel.

Luas PLTS terapung itu 12 x 18 meter. Terdiri atas 36 buah panel solar cell. Untuk mencapainya harus melewati tabung plastik terapung atau floater sepanjang sekitar 50 meter. Saat melewatinya harus hati-hati. Jika tidak, bisa terpeleset dan tercebur ke danau. Meskipun danaunya tidak dalam.

Setelah sampai di PLTS, kondisi pijakan lebih stabil. Karena terdiri atas sekian banyak rangkaian tabung plastik. Supaya tidak terbawa arus, di bagian sudut dibuat semacam jangkar dengan pemberat. Eko mengatakan, air di sekitar PLTS terapung itu dicek secara berkala. Dibersihkan dari dedaunan, sampah plastik, atau sejenisnya. Supaya tidak mengganggu pantulan sinar matahari. Sesekali terlihat ikan menyembul di antara panel sel surya (solar cell).

Pria kelahiran Jakarta, 16 Oktober 1974, itu menceritakan, PLTS terapung berbasis bifacial dipasang akhir Februari lalu. ”Energi yang dihasilkan dari sistem ini 22 kWh sampai 35 kWh pada musim hujan,” katanya.

Tetapi, ketika musim kemarau, setrum yang dihasilkan bisa mencapai 40-an kWh setiap hari. Listrik yang dihasilkan PLTS terapung itu dialirkan ke kantin FTUI. Bisa dimanfaatkan sebagai back-up listrik dari PLN.

Pria yang mengawali karir sebagai dosen pada 2009 tersebut menjelaskan, gagasan pemasangan PLTS terapung bifacial itu semula muncul dari pihak industri. Saat itu ada industri yang memproduksi panel solar cell mencari tenaga ahli di bidang panel surya. ”Lalu ketemu saya. Katanya tahu saya dari CV (curriculum vitae, Red) dan lainnya,” jelas dia.

Eko menerangkan, teknologi PLTS atau panel surya sudah makin banyak digunakan. Harganya pun makin terjangkau. Bahkan, beberapa pedagang kaki lima (PKL) menggunakan sel surya untuk kebutuhan listrik di tempat dagangannya.

Namun, inovasi terbaru yang ingin dia hasilkan adalah menempatkan panel surya atau perangkat PLTS di danau atau perairan. Alat tersebut juga bisa dipasang di laut, lahan gambut, dan sungai. Namun, untuk sungai agak sulit diterapkan karena arusnya bisa tiba-tiba menjadi kuat.

Menurut Eko, pembangunan fasilitas PLTS di perairan memiliki sejumlah keunggulan dibanding di daratan. Misalnya, biaya lebih murah. ”Karena kalau di darat itu butuh beli lahan atau sewa,” jelasnya. Biaya tersebut membuat harga listrik PLTS di darat menjadi lebih mahal.

Berbeda halnya jika fasilitas PLTS ditempatkan secara terapung di danau, lahan gambut, atau bahkan laut. Biaya tempatnya tidak banyak. Bahkan gratis jika menggunakan bendungan yang dikelola pemerintah.

Eko mengatakan, pemerintah pernah berencana membangun fasilitas PLTS terapung di Waduk Cirata, Jawa Barat. Rencananya berkapasitas 140 MW. Namun, sampai sekarang tidak ada perkembangannya. Padahal, di negara lain PLTS terapung sudah banyak diterapkan. Jepang, misalnya, memiliki PLTS terapung dengan kapasitas 200 MW. Kemudian di Prancis sekitar 70 MW.

Eko mengungkapkan, penggunaan panel surya bifacial untuk fasilitas PLTS di Indonesia baru pertama diterapkan di danau UI itu. Di masa mendatang, banyak riset bisa dilakukan. Misalnya dengan memodifikasi pelampung atau floater yang berpengaruh pada kemiringan panel surya.

Menurut Eko, tingkat kemiringan solar panel itu berpengaruh pada banyaknya sinar matahari yang diserap. Saat ini mereka menggunakan kemiringan 10 derajat. Rencananya dilakukan modifikasi dengan tingkat kemiringan 15 derajat. Supaya bisa mendapatkan listrik lebih maksimal lagi.

Eko berharap PLTS terapung menjadi alternatif sumber energi di Indonesia. Apalagi, Indonesia memiliki banyak danau, setu, dam, bahkan laut. Sebagai seorang peneliti, dia akan melakukan penelitian PLTS secara komprehensif.

Menurut Eko, Indonesia harus terus memikirkan sumber energi terbarukan secara lebih luas. ”Di tengah harga lahan yang kian mahal, PLTS terapung bisa menjadi solusi,” tuturnya. Apalagi, setiap jengkal perairan di Indonesia terpapar sinar matahari sepanjang tahun.

Fasilitas PLTS terapung bifacial di UI adalah hasil kerja sama TREC FTUI dengan PT Sky Energi Indonesia dan PT Quint Solar Indonesia. Tujuan kerja sama itu untuk penelitian, penerapan, dan pengembangan PLTS terapung di daerah tropis seperti di Indonesia. Dari total 36 panel surya bifacial yang terpasang, PLTS terapung tersebut mampu menghasilkan listrik 10.000–13.000 watt peak.

oleh:

M. HILMI SETIAWAN, Depok, Jawa Pos

di JawaPos