Peluang Pemanfaatan Energi Surya (PLTS) Pada Sektor Industri di Indonesia untuk Meningkatkan Daya Saing

Pemanfaatan Energi Surya

Oleh : Fitria Yuliani*, Eko A Setiawan**

Sektor Industri merupakan pengguna energi terbesar kedua setelah sektor rumah tangga, yaitu 35% dari total permintaan energi. Dengan potensi energi surya yang melimpah dan meningkatnya kebutuhan energi khususnya pada sektor industri tersebut, merupakan peluang bagi sektor industri untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya sehingga dapat meningkatkan daya saing suatu industri. Tahun 2050 diproyeksikan permintaan energi listrik pada sektor industri di Indonesia akan mencapai kisaran 660 TWh atau 10 kali dari penggunaan tahun 2015 yang lalu. Sedangkan tarif listrik PLN pada sektor ini cenderung terus meningkat, sehingga pemanfaatan energi terbarukan di sektor industri memiliki peran yang strategis menuju modern sustainable energy services atau layanan energi berkelanjutan yang lebih modern dan mempunyai peluang untuk meningkatkan keuntungan finansial serta meningkatkan daya saing. Caranya adalah dengan pemilihan sumber energi terbarukan yang potensial, semakin murah harga energinya dan pola penggunaan energi yang lebih efisien. Salah satunya dengan  mengimplementasikan teknologi PLTS Atap (PV Rooftop) pada sektor industri. Berikut ini adalah empat faktor yang mendasari argumentasi tersebut.

  1. Profil beban dan lokasi kawasan Industri. Konsumsi energi listrik di sektor Industri pada siang hari lebih tinggi dari pada pagi dan sore hari, kondisi ini sesuai dengan siklus matahari.  Lamanya sinar matahari yang dapat menghasilkan energi listrik maksimum di wilayah Indonesia berkisar antara 4 sampai 5.5 jam sehari yaitu berkisar dari pukul 9.30 pagi sampai pukul 2 siang. Ini menunjukkan bahwa ada porsi konsumsi industri pada siang hari yang dapat disuplai dari PLTS Atap.  Dilihat dari lokasi pusat kawasan industri di Indonesia yang pada umumnya terletak di Pulau Jawa dan Batam, mempunyai sudut kemiringan panel surya antara 5 sampai 10 derajat. Wilayah ini pun kecepatan angin yang relatif kecil, mengakibatkan biaya pembangunan PLTS Atap menjadi murah karena tidak memerlukan struktur penyangga panel surya yang mahal, serta luas area yang dibutuhkan juga tidak terlalu besar. Hal ini berbeda sekali dengan penerapan PLTS di negara-negara sub tropis, dibutuhkan sudut kemiringan panel surya yang tinggi karena lokasinya jauh dari garis khatulistiwa dan terpaan angin yang lebih kencang, sehingga biaya pemasangan panel surya jauh lebih mahal.
  2. Kesiapan infrastruktur dan tenaga ahli, kawasan industri pada umumnya terdiri dari area pabrik, lahan parkir, kantor dan rumah karyawan yang memiliki atap yang luas , didukung dengan bentuk, material dan sudut kemiringan atap yang relatif seragam. Pembangunan sarana dan prasarana di kawasan industri, pemasangan instalasi listrik, serta sistem proteksi petir dan pentanahannya juga telah memenuhi standar keamanan yang tinggi. Kondisi infrastruktur kelistrikan di kawasan industri biasanya stabil, handal dan kualitas dayanya pun baik. Semua kondisi ini sebenarnya menjadi syarat mutlak masuknya sistem PLTS ke dalam jaringan listrik utilitas/perusahaan listrik negara. Selain itu kawasan Industri juga didukung oleh sumber daya manusia yang profesional, adanya staf/karyawan yang bertanggung-jawab untuk mengatasi masalah teknis kelistrikan bila terjadi gangguan.
  3. Dampak lingkungan dan sosial, pemanfaatan energi surya secara masif di kawasan industri akan mengurangi penggunaan bahan bakar minyak, kadar polutan di udara dan tingkat kebisingan disekitar tempat kerja dapat ditekan. Sehingga akan terwujud lingkungan industri yang lestari dan terangkatnya citra positif bagi pelaku industri yang melakukannya.
  4. Potensi penghematan. Pemasangan PLTS Atap di sektor industri dapat memberikan keuntungan finansial jangka panjang, mengingat kecendrungan tarif listrik PLN yang terus meningkat, sedangkan biaya energi (Rp/kWh) dari PLTS semakin murah. Biaya pembangunan sistem PLTS Atap (Rp/kW) untuk skala besar dapat lebih rendah 35% daripada skala kecil. Dari tahun ke tahun biaya investasi PLTS mengalami penurunan yang signifikan yaitu berkisar antara 18% sampai 22%, yang berarti bahwa biaya panel surya tahun ini mengalami penurunan harga sebesar 18% – 22% dari tahun sebelumnya.

Ada dua kemungkinan mekanisme jual beli listrik antara PLTS Atap di sektor Industri dengan jaringan utilitas, yaitu dengan mekanisme net-metering dan net-billing. Net-metering adalah pengurangan tagihan listrik utilitas dengan memperhitungkan selisih energi yang yang dijual ke jaringan (ekspor) yang berasal dari PLTS-Atap dengan listrik yang diambil dari jaringan utilitas (impor). Net metering memungkinkan konsumen listrik untuk menghasilkan listrik untuk digunakan sendiri. Setiap energi listrik yang dihasilkan dari PLTS-Atap nya yang tidak dikonsumsi sendiri, dapat langsung diekspor ke jaringan utilitas dan dikonsumsi oleh pelanggan lainnya. Perjanjian kontrak jual beli listrik pada mekanisme ini berlaku sampai kurun waktu tertentu yang disepakati (misalkan 20 tahun), dimana harga ekspor listrik dari PLTS- Atap sama dengan harga impor yang diambil dari listrik utilitas. Berbeda dengan mekanisme net-metering, penetapan kontrak jual beli pada  mekanisme net-billing harga listrik yang berasal dari PLTS Atap diasumsikan flat selama masa kontrak jual beli listrik tersebut. Jika pada net-metering perhitungan akumulasi kelebihan energi listrik dikalkulasi pada bulan berikutnya dalam bentuk kWh, sementara pada  net-billing  dalam bentuk rupiah.

Studi yang telah kami lakukan menunjukkan bahwa penggunaan PLTS Atap pada industri dengan mekanisme net-metering mampu  mengurangi biaya penggunaan energi listrik sebesar 16% dari total kebutuhan listrik pada suatu industri, lebih besar jika dibandingkan dengan mekanisme net-billing dengan asumsi tarif listrik yang terus meningkat sebesar 3% setiap tahun.

Bahkan dengan nilai penghematan energi listrik yang dihasilkan oleh PLTS Atap pada  industri dapat mengembalikan investasi pemasangan PLTS Atap tersebut kurang dari 10 tahun. Nilai pengembalian investasi yang positif dan terus meningkat hingga tahun ke-20. Hal menarik lainnya menunjukkan bahwa semakin besar kapasitas terpasang sistem PLTS Atap, maka semakin kecil biaya energinya dan mencapai titik optimum di kapasitas 20 MW. Artinya pemasangan PLTS Atap diatas 20 MW, biaya energinya relatif sama dengan kapasitas 100 MW.

Agregasi ke-empat faktor tersebut di atas menunjukkan bahwa, implementasi PLTS Atap di sektor Industri berpeluang meningkatkan efisiensi biaya penggunaan energi di Indonesia. Saat ini implementasi PLTS Atap di sektor Industri sudah mulai diinisiasi di beberapa negara. Pabrik semen Lafarge – Holcim Rashadiya merencanakan pemenuhan seperempat energi-nya dari pembangkit tenaga surya yang beroperasi pada Juli 2017. Studi pemanfaatan PLTS Atap di Industri makanan juga telah dilakukan di Melbourne Australia tahun 2016, yang bertujuan untuk menurunkan emisi karbon secara signifikan dan mengurangi 39% konsumsi energi dengan memasang 100 kWp panel surya.

Sudah saatnya pelaku Industri di Indonesia mulai dari kelas menengah sampai besar bersiap membuat rencana alternatif untuk meningkatkan keuntungan finansial jangka panjang dan membangun citra positif pelaku industri  serta  berpartisipasi aktif dalam program yang telah dicanangkan dunia yaitu Sustainable Development Goal (SDG) 7, yaitu menjamin akses energi yang terjangkau, handal, berkelanjutan dan modern untuk semua.


*) Mahasiswa Magister Pascasarjana FTUI dan bekerja di Direktorat Jenderal EBTKE

**) Direktur Pusat Riset Energi Terbarukan Wilayah Tropis TREC FTUI